Suka Duka Interpreter

Duka seorang penerjemah

SP SAKURA

INTERPRETER GADUNGAN – Apa saja sih suka duka seorang Interpreter bahasa Jepang? Jika ngomong tentang hal yang indah dari Interpreter atau penerjemah banyak sekali, tapi jika masalah jelek atau dukanya seperti apa ya? Lembur hampir setiap hari dan masuk kerja di hari sabtu adalah dukanya. Bagi yang freelance translator, mungkin banyak waktu, tapi pemasukan juga nggak pasti.

Duka Interpreter bahasa Jepang
Pixabay

Menjadi Interpreter di perusahaan Jepang membuatku banyak sekali menerima pengalaman berharga yang nggak akan pernah dilupakan. Apalagi menjadi penerjemah karyawan tetap di perusahaan Jepang di Indonesia.

Aku pernah menjadi interpreter di Jepang, tapi masih sebatas freelance interpreter bahasa Jepang. Saat itu hanya membantu teman untuk melamar kerjaan, ke kencho (kelurahan di Jepang), ke bank atau kegiatan lainnya, tapi nggak dibayar secara profesional. Pernah beberapa kali, itupun hanya sekedar part time atau baito.

Baca Juga:

Menjadi interpreter bahasa Jepang membuat kantongku sedikit lebih tebal dibandingkan saat aku menjadi seorang guru bahasa Jepang. Tapi, setiap pekerjaan ada suka dukanya. Jika menjadi guru banyak sekali sukanya, menjadi interpreter cukup suka nya. Hahaha.

Berikut ini hanyalah beberapa unek unek yang aku rasakan selama menjadi seorang interpreter. Semoga dengan ini mengingatkan aku bahwa ada surga ada neraka; ada kantong tebal ada yang tipis; Semakin berusaha maka semakin kita menjadi lebih baik.

1. Pekerjaan Mendadak

Beberapa kali sering dipanggil untuk meeting dadakan yang membuat aku kerepotan. Jika masalahnya bisa dimengerti aku akan dengan senang hati memadupadankan kata kata, tapi jika susah, bikin kepala mau pecah rasanya. Bahkan jika aku nggak ngerti sama sekali aku berpikir: Apa gunanya aku di rapat meeting ini jika nggak mengerti topik yang dibicarakan. Positifnya adalah kita harus selalu belajar!

Wahai para bos, akan lebih baik jika engkau memberitahukan terlebih dahulu interpretermu jika ada rapat. Dia bisa belajar atau setidaknya bertanya ke rekan kerja agar nggak kosong melompong.

2. Mengabaikan kesehatan

Benar banget. Jika ada masalah dikantor atau kerjaan belum selesai, maka aku biasanya nggak bisa tidur dan makan nggak enak. Pada akhirnya justru sakit karena maag atau lainnya. Aku bahkan sering kena radang tenggorokan karena banyak ngomong karena kurang minum dan makan. Ini alasan dibuat buat. Haha.

Duka Interpreter bahasa Jepang
Pixabay

3. Lembur

Kamu akan sering lembur atau pulang larut malam jika ada masalah kerjaan yang belum selesai. Aku sering banget lembur di kantor. Biasanya aku pulang sekitar jam 8 atau 9. Nggak selalu setiap hari, tapi seminggu bisa dihitung 3 sampai 2 kali. Sisanya pulang jam 7. hahahah sama lembur dong ya.

Aku pernah punya pengalaman pulang kantor sampai pukul 13:30. Sukan sekali, tapi beberapa kali. Dibayar lembur? Nay……

Awalnya sih dibilang bos untuk pulang secepatnya jika nggak ada pekerjaan karena pulang kantor 16:30. Tapi akhirnya kita diminta jangan pulang karena ada masalah yang belum kelar. Kata bos, kesannya kalo kita pulang duluan padahal yang lain ada masalah, solidaritas kita kurang, malah nggak ada solidaritas! Ups.

Jika dibayar sih ok, jika nggak dibayar? Capek deh. Bolehlah kita nggak hitung hitungan soal jam kerja ini. Tapi keterusan? Please, kita bukan mesin robot yang kerja seharian.

4. Waktu dengan keluarga kurang

Karena banyaknya kerjaan dan juga sering lembur, tatap muka dengan keluarga kurang sekali. Dukanya tuh terasa banget! Awas bagi yang punya anak kecil, nanti kamu dikira om nya yang pulang darimana. Hahaha

5. Sabtu Minggu tetap kerja

Jangan kaget jika sabtu minggu diminta untuk masuk kerja. Aku pernah mengalaminya. Bukan satu atau dua kali, tapi sering. Bisa karena ada kerjaan untuk hari itu, bisa juga memang ada terjemahan yang belum kelar karena sering pulang larut malam.

Ini yang paling nggak aku sukai. Soalnya aku ingin sabtu minggu benar benar free dari kerjaan agar bisa melakukan aktivitas lain yang menyenangkan. Seperti berkumpul dengan keluarga, menonton atau jalan jalan.

Berapa Gaji Kerja di Jepang? 30 Juta?

6. Salary besar, tapi..

Ini yang buat aku terkadang pikir ulang jika resign. Pekerjaan sebagai interpreter atau penerjemah gajinya cukup gede. Ya lumayanlah bisa buat nonton bioskop seminggu sekali mah untung banget. Hehe. Tapi, jika weekdays nya nggak lembur, lebih asyik lagi kali ya.

Mungkin itulah beberapa duka seorang interpreter yang selama ini aku rasakan. Bagaimana denganmu? apakah sama? Aku membayangkan jika bekerja di Jepang dan bekerja keras seperti di Indonesia, mungkin pundi pundi uang akan aku terima dengan lebih banyak karena kompensasi bertemu dengan keluarga yang sempit waktunya. Semoga Indonesia juga lebih memikirkan waktu bekerja seperti ini agar sama sama mendapatkan win win solution. Amin.