Dipecat

Bagaimana rasanya dipecat dari pekerjaan di restoran sushi Jepang

INTERPRETER GADUNGAN – Gara gara jenggot dan kumis, aku hampir saja dipecat dari pekerjaan di restoran sushi terkenal di Jepang. Kejadian ini adalah buntut dari kegundahan hati, pemahaman yang kurang dan rasa yakin rejeki ada yang mengatur. Kejadian ini aku alami saat aku berada di Jepang.

Bagaimana rasanya dipecat dari pekerjaan di restoran sushi Jepang

Tempat baito atau part time job yang paling aku sukai karena pengalamannya adalah saat bekerja di perusahaan sushi Jepang. Restoran ini memberiku pengalaman luar biasa berharga yang nggak bisa digantikan oleh pekerjaan lain.

Alasan suka bekerja di restoran Jepang

Memang benar setiap pekerjaan ada kurang lebihnya dan bekerja di resto sushi sangat aku sukai. Di sini aku mendapatkan berbagai ilmu mulai dari bisnis, mengatur waktu dan juga mengatur uang.

Berikut ini adalah alasan aku suka bekerja di restoran sushi Jepang

1. Dunia baru

Karena restoran merupakan hal baru, apalagi sushi, aku tertarik dengan semua hal yang ada di restoran sushi. Bagaimana aku harus membakar daging sushi, membuat gumpalan nasi sushi, menggoreng tempura, menyiapkan soup, dll.

2. Bahasa Jepang

Karena bos aku seorang Jepang yang dari Osaka, otomatis bahasa Jepangnya sedikit beda dengan bahasa Jepang umumnya, makanya aku banyak belajar kata kata atau bahasa asing dari dia. Sering sekali aku nggak mengerti apa yang dia omongkan karena kosakata atau logat “aneh” terdengar. Orang orang menyebutnya kansai ben (dialek kansai).

Cara Gila Belajar Bahasa Jepang (Part 3)

3. Jam kerja sesuai

Aku bisa mengatur kapan aku bisa baito dengan sesuka hati. Tentu saja aku harus memberikan jadwalnya sebulan sebelumnya agar nggak bentrok. Misal bentrokpun harus memberitahukannya terlebih dahulu agar ada pengganti di restoran.

4. Belajar Budaya

Budaya Jepang yang kental banyak aku dapatkan di restoran sushi ini. Belajar kebersihan, cara menyajikan makanan, belajar memanage waktu ketika membuat sushi, dll. Ini menjadi bekal aku agar lebih survive di Jepang.

5. Gaji besar

yang aku tahu, bekerja di restoran sushi gajinya lebih besar dibandingkan pekerjaan sejenis. Aku bisa mendapatkan uang sekitar 10.000 – 14.000 yen perbulan dengan jam kerja seminggu 4 kali dalam 28 jam seminggu. Sisanya bisa aku gunakan untuk jalan jalan atau belajar.

Baca Juga:

Meskipun banyak hal yang bagus didapatkan, aku harus memperjuangkanya dengan berdarah darah. Aku dihina dan juga dimarahi hampir setiap hari saat bekerja di belakang layar restoran sushi. Kebetulan aku bekerja membuat sushi. Jika aku salah mengirimkan sushi, maka sushi akan kembali ke bagian belakang via conveyer. Lalu jika pembuatan makanan telat, maka suara bel akan bersahutan dengan cepat dan keras. Intinya bagian belakang akan sibuk dan ribut jika hal ini terjadi.

Jujur, 3 bulan pertama merupakan neraka bagiku. Aku yang baru sekali makan sushi, itupun satu potong, waktu di hotel Mulia Jakarta, harus menghapalkan cara membuat sushi lebih dari 30 jenis. Itu baru sushi, belum lagi hal lainnya. Meskipun diajari perharinya, tetap saja sangat susah.

Karena aku takut salah, aku biasanya memastikan ke senior terlebih dahulu benar atau nggaknya. Jika waktunya nggak sibuk mungkin nggak masalah, tapi jika sibuk pas jam 18.00-20.30 maka dia akn marah karena aku masih belum hapal sushi.

Bagaimana rasanya dipecat dari pekerjaan di restoran sushi Jepang

Depresi Berat

Ketika makian dan juga cercaan sering menimpaku, akupun jadi depresi dan sering murung.

“Seburuk itukah aku”

“Sebodoh itukah aku”

Pikiran negatif banyak bergelayut di pikiran. Tapi alhamdulillah depresi itu bisa aku alihkan dengan banyak bedoa dan juga ingat pada yang kuasa.

Hari hari depresi bisa aku imbangi dengan membaca Alquran atau beristigfar. Aku pasrah jika harus dipecat oleh Tencho atau pimpinan toko yang terkenal sangat galak. Tapi, anehnya adalah tencho nggak begitu galak pada cewek dan juga temen Indonesia aku lainnya. Mereka nggak ada masalah meskipun cukup struggle. Mungkin bahasa Jepang mereka bagus kali ya. Aku kadang berpikir, sepertinya hal buruk terus mengiringiku. Untunglah aku juga punya sahabat yang sering memberiku dukungan posisitf saat down. Thanks Husna.

Semakin sering aku dimarahi, aku semakin belajar giat dan semakin sabar. Jika nggak bisa terus, pasti dia juga akan memecat aku. Aku pikir mungkin itu adalah tanda akan dipecat. Aku telah rela kapanpun dipecat.

Dalam masa depresi itu, aku belajar agama melalui beberapa info internet. Salah satunya adalah menumbuhkan jenggot merupakan sunah nabi. Karena aku mau sunah nabi, maka aku berusaha untuk menumbuhkan dengan hanya menggunting atau tidak mencukur habis jenggot.

Sesuai rule dari restoran Jepang, kita semua harus bersih dari jengot dan kumis untuk menghindari terjatuhnya rambut tersebut ke makanan. Jepang sangat menomorsatukan kebersihan.

Karena aku sering bilang lupa jika ditanya kenapa kumis dan jenggot nggak dicukur, dia marah marah. Tapi karena lagi dibutuhkan, meskipun marah, dia tetap memberikan kesempatan aku untuk baito. sebenarnya bukan lupa, tapi aku menghindari mencukur jenggot.

Menghadapi bos galak di tempat kerja

Hal yang sering aku lakukan terkait jenggot dan kumis adalah aku mencukur kumis klimis, tapi jika jengot, aku hanya memotongnya, tidak sampai dicukur. Karena kumis dan jenggot aku cepat tumbuhnya, aku lebih sering mencukur kumis saja. Suatu ketika, aku langsung masuk tempat kerja setelah dicek kukunya bersih atau tidak oleh Tencho. Lalu karena Tencho melihat jenggot aku yang lebat, dia marah besar. Dia marah di dapur disaksikan oleh rekan kerja aku dari berbagai negara: Jepang, China, Vietnam. Aku dimarahi habis. Malu!

“Yamete kudasai.” Berhentilah!

Karena dia bilang begitu, tanpa ragu aku langsung balik kanan dan menuju ruang ganti. Itu merupakan puncak dari kekesalan aku terhadap Tencho juga. Aku langsung bilang:

“Otsukaresamadeshita”

Dan tanpa babibu langsung pergi dari dapur restoran.

Tujuanku adalah menuju kamar ganti. Disana aku langsung ganti baju dengan baju biasa. Semua baju restoran sushi aku lipat. Saat itu ada rekan kerja lain yang sedang istirahat. Mereka kaget karena aku baru masuk dapur, tapi langsung pulang.

Aku yakin rejeki ada yang mengatur. Sama sekali nggak ada kegundahan hati jika aku nggak bekerja di restoran ini.

Aku langsung cerita ke dia karena Tencho bilang aku untuk berhenti. Ya sudah aku pulang dan akan mengembalikan semua peralatan restoran setelah aku cuci bersih nanti. Ada temanku yang bernama Tomita yang menenangkanku dan dia bilang kenapa aku berhenti dan pulang.

“Dia bilang ‘yamete kudasai’, ya sudah aku pulang dan berhenti. Nanti akan aku serahkan semua baju restoran setelah dibersihkan terlebih dahulu”

“Memang Tencho bilang begitu?”

Kujawab dengan anggukan.

“Tunggu, kenapa dia seperti itu?”

“Aku belum mencukur jenggot, sedangkan kumis sudah. Menurut agamaku, jenggot harus ditumbuhkan untuk laki laki karena sunah.”

Aku jelaskan sekenanya karena aku nggak tahu padanan kata untuk sunah dalam bahasa Jepang.

Dia bilang tunggu dan akan menginformasikannya ke Tencho. Mungkin Tencho belum tahu terkait ini.

Aku duduk sebentar untuk menunggu Tomita yang berbicara terlebih dahulu ke Tencho. Kelak, Tomita ini adalah teman baikku saat di Jepang. Kita selalu jalan jalan bersama teman Indonesia lain dengan mobil kecilnya.

Hal yang dilakukan setelah resign kerja

Tencho datang dengan muka cemberut dan kesal. Aku nggak peduli dengan dia. Aku sudah pasrah dan nggak tertarik juga. Kekesalan aku yang diredam akhirnya memuncak, cuma bukan dengan perkataan, tapi tindakan diam dan langsung pergi.

“Kalo ini terkait agamau, kenapa nggak bilang? Jika bilang, aku juga mungkin akan mengerti. Banyak dari kalian yang ketika meminta sesuatu, terus bisa dikompromikan, pasti dikabulkan. Dari awal juga sudah bilang jika masuk di restoran ini harus bersih dari kumis dan jenggot.”

“Sebelumnya mohon maaf jika aku salah. Memang benar jika kumis nggak masalah jika di cukur, tapi untuk jenggot, aku nggak bisa. Ini ada hubungannya dengan agamaku.” Hanya itu yang terucap dari mulutku.

“Kalo begitu, kembalilah bekerja”

“Aku akan bekerja, tapi maaf nggak bisa untuk mencukur klimis jenggot. Jika hanya merapikan dengan gunting, aku nggak masalah.”

Kita berdua diam disaksikan beberapa pasang mata orang yang sedang istirahat.

“Baiklah, tapi tolong dibersihkan jenggotnya lebih rapi, bisa?”

“Bisa.” Anggukku.

Sejak itu, aku semakin rajin dan bersemangat dalam bekerja. Bahkan pekerjaan dapur yang sering dia complaint terhadap aku atau orang lain nggak pernah aku dapatkan lagi. Menu sushi yang biasanya aku lupa kini hapal. Kecepatan aku juga bisa disamakan dengan topi biru-leader. Aku juga mengerjakan hal apapun yang memang bukan bagian aku. Jika ada waktu beberapa menit, aku akan mengecek persediaan seafood lain. Atau jika ada beberapa yang kotor, aku akan mengelapnya sampai bersih.

Tencho juga bahkan memberikan beberapa tugas yang hanya dia serahkan khusus untuk setingkat leader. Aku cukup tersanjung.

Ketika aku diam dam menunggu pesanan, Tencho akan bilang:

“Fuji kun, nasi sudah diisi? Persediaan seafood ok? Kebersihan ok? Piring sudah dicuci?

“Mou yarimashita” sudah dikerjakan semua.

Dia kini sering tersenyum dan jika seperti itu, dia akan memberikan aku waktu istirahat. Alhamdluliiah aku bisa menghadapinya dengan benar. Sungguh pengalaman yang luar biasa.

Kata kata mutiara dipecat yang aku ingat sampai sekarang adalah “Yamete kudasai” yang artinya berhentilah! Sehabis badai melanda, langit cerah akan menanti.

Note:

Menumbuhkan jenggot memang sunah, tapi nggak juga nggak masalah. Aku juga berada di negara yang bukan mayoritas muslim, jadi hal sunah pun bisa nggak dilakukan. Yang wajib seperti sholat jumat saja aku nggak lakukan karena memang syarat yang harus dipenuhinya nggak mencukupi. Tapi tetap sholat dhuhur.

Tolong koreksi jika salah.

Cerita ini kurang lebih pernah dimasukkan dalam artikel Susah ibadah di Jepang